Fenomena Riba
Pembahasan tentang fenomena Riba ini dikutip dari tulisan seorang pengusaha Indonesia yang sukses berbisnis di luar negeri. Yang mana beliau mempunyai seorang teman yang mengatakan bahwa rezim Riba tidak akan pernah diberkati Allah. Pasti akan hancur. Lihatlah sekarang dunia sedang krisis. Itu karena rezim Riba. Beliau hanya tersenyum.
Selang kemudian beliau katakan bahwa kalau persepsi Anda uang era sekarang sama dengan emas, tentu akan rancu menerjemahkan Riba.Mengapa? Jika Anda meminjamkan uang Rp. 1 juta ke orang lain dengan janji akan dia kembalikan setahun kemudian sebesar Rp. 1 juta juga. Anda beralasan tanpa bunga, agar terhindar dari Riba. Tetapi untuk Anda ketahui bahwa saat akad dibuat, Anda memang tidak makan “bunga”. Tetapi orang yang menerima pinjaman itu mendapatkan bunga secara terselubung. Kok bisa? Ya, uang yang ada sekarang itu kan nilainya turun karena waktu. Itu karena faktor inflasi. Kelihatannya dia mengembalikan sama jumlah uangnya namun sesungguhnya dia mengembalikan kurang dari nilai nominal yang ada.
Mengapa di era nabi, Riba dilarang? Karena ukurannya adalah barang atau emas. Pada masa itu belum ada sistem mata uang fiat dimana nilai uang itu ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Yang terkait dengan kebijakan moneter dan fiskal.
Mengapa harus pakai fiat kalau itu tidak sesuai dengan Sunah Rasul? Beliau katakan bahwa kalau kita pakai emas, mana cukup emas untuk menampung transaksi untuk populasi manusia yang miliaran seperti sekarang. Dan lagi tidak semua negara menguasai tambang emas. Sebagian besar tambang emas sekarang dikuasai oleh swasta. Lucu kan, kalau peradaban modern mata uangnya tergantung dengan pengusaha tambang. Bisa kacau dunia. Jadi menurut beliau keberadaan uang fiat itu bukan karena Islam tidak mendapat ruang dalam sistem ekonomi. Tetapi karena proses sejarah. Slow motion yang terjadi dengan sendirinya sebagai proses sunatullah.
Jadi bagaimana menyikapi fenomena Riba itu?
Ya, harus kembali kepada hakikat. Bahwa uang itu bukan tujuan tetapi hanyalah alat. Kita harus bisa membedakan mana uang untuk bisnis dan mana untuk sedekah. Ukurannya adalah Niat. Memberikan pinjaman untuk bisnis adalah cara berbagi dan meringankan orang lain. Mendapat pinjaman bisnis adalah ujian menjaga amanah dan akhlak. Kalau orang pinjam nilainya tidak seberapa (kecil). Dan digunakan untuk kebutuhan hidup. Anggap saja sedekah. Ikhlaskan saja kalau tidak dikembalikan dan tetap doakan agar orang itu dimudahkan Tuhan mendapatkan rezeki. Jadi kembalikan kepada Akhlak.
Sejurus kemudian teman beliau mengatakan bahwa fenomena riba juga terlihat dari faktanya banyak negara hancur karena utang. Banyak pengusaha hancur karena utang. Banyak rumah tangga hancur karena utang. Beliau menjawab dengan mengatakan bahwa “Bukan utang sebagai penyebab, tetapi akhlak orang yang berutang dan memberi utang yang salah. Sifat rakus. Itu penyebabnya”.
Mengapa? “Bagaimanapun juga, lebih banyak orang yang sukses dan tertolong karena utang daripada yang gagal dan hancur. Hampir semua bisnis saya dibangun dari utang. Apakah saya stress? Enggak. Karena saya tidak pernah anggap uang itu sebagai tujuan tetapi liabilities di hadapan manusia dan Tuhan. Makanya saya tidak perlu merasa jadi orang kaya apalagi merasa terhina jika dibilang miskin oleh orang lain. Selagi kreditur dan istri happy dengan saya, itu sudah cukup bagi saya”.
0 Response to "Fenomena Riba"
Post a Comment